'cookieChoices = {};' Tangisan Seekor Kambing | aneka wawasan

Hayo Berpikir Secara Luas

Pages

Powered by Blogger.

Popular Posts

Blogger news

Visitors

Blogger templates

Visitor

Tangisan Seekor Kambing



Tangisan Seekor Kambing

Pada suatu masa yang tak terhingga, hiduplah seorang pendeta termasyhur dari sebuah agama yang sangat amat tua. Suatu hari, ia memutuskan bahwa inilah hari yang tepat untuk menyelenggarakan upacara pengorbanan hewan, Dalam ketidaktahuannya, ia berpikir bahwa ini adalah persembahan yang diinginkan oleh para dewa. Langkah pertama yang ia dilakukan adalah mencari seekor hewan dan pilihannya jatuh pada seekor Kambing yang tepat. Setelah memperolehnya, ia menyuruh pembantu-pembantunya memandikan kambing tersebut di sungai suci lalu menghiasinya dengan untaian kalung bunga yang indah. Setelah itu sebagai bagian dari praktek penyucian, pembantu-pembantu itu pun ikut membersihkan diri. Setelah selesai mandi. Di tepi sungai, tiba-tiba kambing tersebut menyadari bahwa hari ini dia akan mati. Ia juga tersadar akan kehidupan-kehidupan masa lalunya, kelahiran dan kematiannya yang berulang-ulang (Tumimbal lahir). Ia sadar akan akibat perbuatan-perbuatan buruknya di masa lalu akan segera masak. Maka ia pun tertawa lepas terbahak-bahak, bunyinya seperti suara kaleng yang ditabuh, gambreng. “Mmbeeeeeerk…………. mmmbeeeeeeeerkkkk……, akhirnya aku akan mati hari ini. “Mmmbeeeerrrrrkkkk, inilah hari terakhirku, kepalaku akan di penggal untuk dikorbankan bagi para dewa, inilah perbuatanku di kehidupan yang lalu,” Di saat ia tengah tertawa, ia pun menyadari kenyataan lain, bahwa si pendeta yang hendak mengorbankannya, akan mengalami penderitaan yang sama buruk dengannya, akibat kecerobohan dan ketidaktahuannya. Menyadari hal ini, ia pun mulai menangis tersedu-sedu bahkan sampai sekeras tawanya!. ‘Hu… hu…. hu….. mmbeeeerk. Oh sungguh malang nasib si pendeta, sungguih malang hidupnya !,” berulang-ulang kambing itu mengoceh tanpa henti. Para pembantu, yang memandikan kambing tersebut di sungai suci tadi, terkejut dan takjub bercampur heran mendengar suara tawa dan tangis yang silih berganti dari kambing itu. “Mengapa kamu tertawa nyaring lalu menangis tersedu-sedu kemudian?” Apa sebabnya kamu melakukan hal ini?” Tanya mereka. “Aku akan beritahu kalian sebabnya. Tetapi ini harus dengan kehadiran tuanmu, sang pendeta, hu,,,,,, hu,,,,,,,,,,,” pinta si kambing itu. Mereka jadi penasaran dan ingin tahu apa sebabnya, lalu mereka segera menggiring kambing kurban itu secepatnya menuju ke tempat pendeta. Mereka menjelaskan semua yang terjadi di tepi sungai. Si Pendeta jadi penasaran dan sangat ingin tahu di balik semua kejadian tadi. Dengan penuh hormat, ia bertanya kepada kambing itu, “Tuan, mengapa kamu tertawa dengan nyaring hanya untuk menangis kemudian?” Kambing itu, dengan ingatan akan kehidupan-kehidupan lampau nya menjawab, “Pada suatu masa yang sangat lampau, aku adalah seorang pendeta yang berpengetahuan baik dalam ritual keagamaan suci. Seperti dirimu, aku berpikir bahwa dengan mengorbankan seekor kambing adalah sebuah persembahan berharga yang patut aku lakukan bagi para dewa, yang akan memberi keuntungan dan kemakmuran bagi masyarakat pada umumnya, juga bagi diriku pada kelahiran di masa yang akan datang. Tetapi, kenyataannya adalah untuk 499 kehidupanku yang berikutnya aku harus mengalami berbagai penderitaan dengan kepala dipenggal.” Kambing itu melanjutkan, “Saat aku dipersiapkan untuk dikurbankan pada hari ini, aku menyadari bahwa aku akan kehilangan kepalaku sekali lagi, untuk mengenapi ke 500 kalinya. Dan kemudian, setelah hari ini, aku akhirnya akan terbebas dari karma buruk yang telah aku lakukan di masa lalu itu. Kegembiraan ini membuatku tertawa terbahak-bahak tanpa henti.” “Kemudian dengan tiba-tiba aku menyadari bahwa kamu, sebagai seorang pendeta, akan mengulangi tindakan buruk sebagaimana yang telah aku lakukan dulu, dan akan segera mengalami kesengsaraan yang panjang sebagai akibat dari perbuatan yang pernah aku lakukan, Yaitu kepalamu akan dipenggal dalam 500 kehidupanmu yang berikutnya! Jadi, karena belas kasih dan simpati kepadamu, tawaku berubah menjadi tangisan.” “Takut jika ucapan kambing tersebut ada kemungkinan benarnya, si pendeta berkata, “Baiklah, tuan kambing, dalam hal ini, aku tidak akan membunuhmu,” “Pendeta yang terhormat, meskipun kamu tidak membunuhku, aku tahu bahwa aku pasti akan kehilangan kepalaku hari ini dan akhirnya aku akan terbebas dari karma burukku,” jawab si kambing. “Jangan takut, kambingku yang baik. Aku akan menyediakan perlindungan terbaik dan menjaminmu secara pribadi bahwa tidak akan ada bahaya yang akan menimpamu,” jawab si pendeta. “Oh Pendeta, perlindunganmu lemah, tak berarti bila dibandingkan dengan kekuatan karma yang harus aku hadapi.” Pendeta itu membatalkan pengurbanannya, dan mulai ragu tentang ide atas pembunuhan binatang yang tidak bersalah, Ia melepaskan kambing itu dari ikatan, kemudian bersama dengan pembantu-pembantunya, berjalan serapat-rapatnya dengan kambing itu untuk melindunginya dari bahaya apapun yang mungkin akan menghadang. Namun apa yang terjadi kemudian? Meski telah dijaga demikian ketat, kambing itu akhirnya mati juga. Saat kambing itu berjalan menuju bukit berbatu, ia melihat beberapa dedaunan muda pada sebuah ranting pohon dan sebagaimana naluri seekor kambing ia pun menjulurkan kepalanya untuk memamah daun-daun muda tersebut, namun tiba-tiba, sekelebat cahaya petir menghantam sebuah batu yang menggantung di atas kepala kambing itu, menjatuhkan lempengan batu tajam yang kemudian menghantam dan memenggal kepala kambing tersebut! Kambing itu mati seketika. Mendengar kejadian aneh ini, beratus-ratus penduduk rakyat setempat berduyun-duyun datang mendekat ke bukit berbatu itu. Tak seorang pun dapat memahami bagaimana hal ini dapat terjadi. Seorang Dewi yang tinggal di sebuah pohon dekat tempat kejadian melihat keseluruhan kecelakaan itu. Ia muncul sambil mengepakkan sayap-sayapnya dengan lembut, dan mengatakan hal ini kepada orang-orang yang takjub tersebut, “Lihatlah apa yang terjadi pada kambing malang ini. Ini adalah hasil karma dari perbuatan buruk membunuh hewan-hewan dari kehidupan lampau! Semua makhluk yang lahir, akan mengalami kesakitan, usia tua dan kematian. Tetapi, semua makhluk tidak terkecuali hewan-hewan juga mempunyai hak hidup dan keinginan untuk hidup, tidak satupun yang menginginkan kematian. Ketika seseorang membunuh makhluk lainnya, ini akan menyebabkan penderitaan bagi orang tersebut yang suka membunuh, baik sekarang maupun pada kelahiran mendatang (tumimbal lahir) yang tidak terhitung. “Karena ketidak-pedulian terhadap hasil-hasil dari semua perbuatan, baik atau buruk, yang tidak terhindarkan. Sungguh menyedihkan, masih banyak orang yang melanjutkan pembunuhan saat ini seperti memotong ayam/kambing/sapi untuk dikonsumsi, memancing ikan atau menembak burung untuk kesenangan belaka yang hanya memupuk karma buruk saja. Padahal semua itu akan membuat semakin banyak penderitaan bagi diri mereka sendiri di kelahiran mendatang. Setiap kali mereka membunuh, sebagian dari diri mereka sendiri juga turut mati dalam kehidupan sekarang. Tidak hanya itu, penderitaan itu akan terus berlanjut dalam bentuk kelahiran kembali (tumimbal lahir) di alam-alam neraka!” Mereka mendengarkan perkataan dewi tersebut merasa sungguh sangat beruntung. Mereka telah dilepaskan dari ketidaktahuan atau kebodohan batin mereka tentang akibat dari perbuatan buruk seperti melakukan pengorbanan yang pada hakekatnya adalah melakukan pembunuhan itu, yang kemudian dibimbing oleh dewi itu untuk lebih banyak melakukan kebajikan agar dapat memperoleh kehidupan mendatang yang bahagia. Pesan moral dari cerita ini adalah Ajaran yang tidak benar Dapat menjadi sumber ketidaktahuan/kebodohan Yang akan menjerat umatnya Menuju kehidupan Yang penuh kesengsaraan dan berkepanjangan. Melakukan pembunuhan Merupakan perbuatan negative Yang akan berakibat penderitaan Bagi pelakunya sendiri “Semua makhluk gemetar pada hukuman; Semua makhluk takut akan kematian. Setelah menempatkan diri sendiri pada posisi orang lain, Seseorang hendaknya tidak membunuh Atau menyebabkan terjadinya pembunuhan.” -- Dhammapada 129.
Anda baru saja membaca artikel yang berkategori Religi dengan judul Tangisan Seekor Kambing. Anda bisa bookmark halaman ini dengan URL http://anekaforall.blogspot.com/2014/07/tangisan-seekor-kambing.html. Terima kasih!
Ditulis oleh: irawan - Friday, July 4, 2014

Belum ada komentar untuk "Tangisan Seekor Kambing"

Post a Comment